sumber : https://dimazpancairawan.wordpress.com/2010/12/20/persahabatan-dalam-islam/
Secara umum, orang merasa senang dengan banyak teman. Manusia memang
tidak bisa hidup sendiri, sehingga disebut sebagai makhluk sosial.
Tetapi itu bukan berarti, bahwa seseorang boleh semaunya bergaul dengan
sembarang orang menurut selera nafsunya. Sebab, teman adalah
personifikasi diri. Manusia selalu memilih teman yang mirip dengannya
dalam hobi, kecenderungan, pandangan, pemikiran. Karena itu, Islam
memberi batasan-batasan yang jelas dalam soal pertemanan.
Teman memiliki pengaruh yang besar sekali. Rasulullah bersabda,
“Seseorang itu tergantung agama temannya. Maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat siapa temannya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Makna hadits di atas adalah seseorang akan berbicara dan berperilaku
seperti kebiasaan kawannya. Karena itu beliau Shalallaahu alaihi wasalam
mengingatkan agar kita cermat dalam memilih teman. Kita harus kenali
kualitas beragama dan akhlak kawan kita. Bila ia seorang yang shalih, ia
boleh kita temani. Sebaliknya, bila ia seorang yang buruk akhlaknya dan
suka melanggar ajaran agama, kita harus menjauhinya.
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
“Jangan berteman, kecuali dengan orang mukmin, dan jangan memakan makananmu kecuali orang yang bertakwa.” (HR. Ahmad dihasankan oleh al-Albani)
Termasuk dalam larangan di atas adalah berteman dengan pelaku
dosa-dosa besar dan ahli maksiat, lebih-lebih berteman dengan
orang-orang kafir dan munafik.
Khathabi berkata,
“Yang dimaksud dengan jangan memakan makananmu,
kecuali orang yang bertakwa adalah dengan cara mengundang mereka dalam
suatu jamuan makan. Sebab jamuan makan bisa melahirkan rasa kasih sayang
dan cinta di antara yang hadir”. Adapun makanan yang memang dibutuhkan oleh mereka, maka tidak apa-apa diberikan.
Allah berfirman, artinya,
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” (QS. Al-Insan: 8).
Dan yang ditawan bisa saja adalah orang-orang kafir.
Demikian juga dalam pergaulan yang sifatnya umum seperti bertetangga, jual beli dan sebagainya, maka hukumnya masuk dalam
hukum muamalah, di mana kita boleh bermuamalah dengan siapa saja, muslim maupun non muslim.
Persahabatan yang paling agung adalah persahabatan yang dijalin di
jalan Allah dan karena Allah, bukan untuk mendapatkan manfaat dunia,
materi, jabatan atau sejenisnya. Persahabatan yang dijalin untuk saling
mendapatkan keuntungan duniawi sifatnya sangat sementara. Bila
keuntungan tersebut telah sirna, maka persahabatan pun putus.
Berbeda dengan persahabatan yang dijalin karena Allah, tidak ada
tujuan apa pun dalam persahabatan mereka, selain untuk mendapatkan ridha
Allah. Orang yang semacam inilah yang kelak pada Hari Kiamat akan
mendapat janji Allah.
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
“Sesungguhnya
Allah pada Hari Kiamat berseru, ‘Di mana orang-orang yang saling
mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini akan Aku lindungi mereka
dalam lindungan-Ku, pada hari yang tidak ada perlindungan, kecuali
perlindungan-Ku.” (HR. Muslim)
Dari Mu’adz bin Jabal berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shalallaahu
alaihi wasalam bersabda, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
“Wajib
untuk mendapatkan kecintaan-Ku orang-orang yang saling mencintai karena
Aku dan yang saling berkunjung karena Aku dan yang saling berkorban
karena Aku.” (HR. Ahmad).
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam hadits Abu Hurairah, diceritakan,
“Dahulu
ada seorang laki-laki yang berkunjung kepada saudara (temannya) di desa
lain. Lalu ditanyakan kepadanya, ‘Ke mana anda hendak pergi? Saya akan
mengunjungi teman saya di desa ini’, jawabnya, ‘Adakah suatu kenikmatan
yang anda harap darinya?’ ‘Tidak ada, selain bahwa saya mencintainya
karena Allah Azza wa Jalla’, jawabnya. Maka orang yang bertanya ini
mengaku, “Sesungguhnya saya ini adalah utusan Allah kepadamu (untuk
menyampaikan) bahwasanya Allah telah mencintaimu sebagaimana engkau
telah mencintai temanmu karena Dia.”
Anas Radhiallaahu anhu meriwayatkan,
“Ada seorang laki-laki
di sisi Nabi Shalallaahu alaihi wasalam. Tiba-tiba ada sahabat lain yang
berlalu. Laki-laki tersebut lalu berkata, “Ya Rasulullah, sungguh saya
mencintai orang itu (karena Allah)”. Maka Nabi Shalallaahu alaihi
wasalam bertanya “Apakah engkau telah memberitahukan kepadanya?”
“Belum”, jawab laki-laki itu. Nabi bersabda, “Maka bangkit dan
beritahukanlah padanya, niscaya akan mengokohkan kasih sayang di antara
kalian.” Lalu ia bangkit dan memberitahukan, “Sungguh saya mencintai
anda karena Allah.” Maka orang ini berkata, “Semoga Allah mencintaimu,
yang engkau mencintaiku karena-Nya.” (HR. Ahmad).
Hal yang harus diperhatikan oleh orang yang saling mencintai karena
Allah adalah untuk terus melakukan evaluasi diri dari waktu ke waktu.
Adakah sesuatu yang mengotori kecintaan tersebut dari berbagai
kepentingan duniawi?
Paling tidak, saat bertemu dengan teman hendaknya kita selalu dalam
keadaan wajah berseri-seri dan menyungging senyum. Rasulullah
Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
“Jangan sepelekan kebaikan sekecil apapun, meski hanya dengan menjumpai saudaramu dengan wajah berseri-seri.” (HR. Muslim dan Tirmidzi).
Dalam sebuah hadis riwayat Aisyah Radhiallaahu anha disebutkan, bahwasanya
“Allah mencintai kelemah-lembutan dalam segala sesuatu.” (HR. al-Bukhari).
Dalam hadis lain riwayat Muslim disebutkan “Bahwa Allah itu Maha
Lemah-Lembut, senang kepada kelembut-an. Ia memberikan kepada kelembutan
sesuatu yang tidak diberikan-Nya kepada kekerasan, juga tidak diberikan
kepada selainnya.”
Termasuk yang membantu langgengnya cinta dan kasih sayang adalah
saling memberi hadiah di antara sesama teman. Rasulullah Shalallaahu
alaihi wasalam bersabda,
“Saling berjabat tanganlah kalian, niscaya akan hilang
kedengkian. Saling memberi hadiah lah kalian, niscaya kalian saling
mencintai dan hilang (dari kalian) kebencian.” (HR. Imam Malik).
Dalam Islam, prinsip menolong teman adalah bukan berdasar permintaan
dan keinginan hawa nafsu teman. Tetapi prinsip menolong teman adalah
keinginan untuk menunjukkan dan memberi kebaikan, menjelaskan kebenaran
dan tidak menipu serta berbasa-basi dengan mereka dalam urusan agama
Allah. Termasuk di dalamnya adalah amar ma’ruf nahi mungkar, meskipun
bertentangan dengan keinginan teman.
Adapun mengikuti kemauan teman yang keliru dengan alasan solidaritas,
atau berbasa-basi dengan mereka atas nama persahabatan, supaya mereka
tidak lari dan meninggalkan kita, maka yang demikian ini bukanlah
tuntunan Islam.
Salah satu sifat utama penebar kedamaian dan perekat ikatan
persaudaraan adalah lapang dada. Orang yang berlapang dada adalah orang
yang pandai memahami berbagai keadaan dan sikap orang lain, baik yang
menyenangkan maupun yang menjengkelkan. Ia tidak membalas kejahatan dan
kezhaliman dengan kejahatan dan kezhaliman yang sejenis, juga tidak iri
dan dengki kepada orang lain. Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam
bersabda,
“Seorang mukmin itu tidak punya siasat untuk
kejahatan dan selalu (berakhlak) mulia, sedang orang yang fajir (tukang
maksiat) adalah orang yang bersiasat untuk kejahatan dan buruk
akhlaknya.” (HR. HR. Tirmidzi, Al-Albani berkata “hasan”
Karena itu Nabi Shalallaahu alaihi wasalam mengajarkan agar kita berdo’a dengan:
“Dan lucutilah kedengkian dalam hatiku.” (HR. Abu Daud)
Termasuk bumbu pergaulan dan persaudaraan adalah berbaik sangka
kepada sesama teman, yaitu selalu berfikir positif dan memaknai setiap
sikap dan ucapan orang lain dengan persepsi dan gambaran yang baik,
tidak ditafsirkan negatif. Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
“Jauhilah oleh kalian berburuk sangka, karena buruk sangka adalah pembicaraan yang paling dusta” (HR.Bukhari dan Muslim). Menurut penjelasan Ulama apa yang dimaksud dengan berburuk sangka di sini adalah dugaan yang tanpa dasar.
Setiap orang punya rahasia. Biasa-nya, rahasia itu disampaikan kepada
teman terdekat atau yang dipercayainya. Anas Radhiallaahu anhu pernah
diberi tahu tentang suatu rahasia oleh Nabi Shalallaahu alaihi wasalam.
Anas Radhiallaahu anhu berkata,
” Nabi Shalallaahu alaihi
wasalam merahasiakan kepadaku suatu rahasia. Saya tidak menceritakan
tentang rahasia itu kepada seorang pun setelah beliau (wafat). Ummu
Sulaim pernah menanyakannya, tetapi aku tidak memberitahukannya.” (HR. Al-Bukhari).
Teman dan saudara sejati adalah teman yang bisa menjaga rahasia
temannya. Orang yang membeberkan rahasia temannya adalah seorang
pengkhianat terhadap amanat. Berkhianat terhadap amanat adalah termasuk
salah satu sifat orang munafik.
Persahabatan yang dijalin karena kepentingan duniawi tidak mungkin
bisa langgeng. Bila manfaat duniawi sudah tidak diperoleh biasanya
mereka dengan sendirinya berpisah bahkan mungkin saling bermusuhan.
Berbeda dengan persahabatan yang dijalin karena Allah, mereka akan
menjadi saudara yang saling mengasihi dan saling membantu, dan
persaudaraan itu tetap akan berlanjut hingga di negeri Akhirat. Allah
berfirman, artinya, “
Teman-teman akrab pada hari itu
sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang
yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf: 67)
“Ya
Allah, anugerahilah kami hati yang bisa mencintai teman-teman kami hanya karena mengharap keridhaan-Mu. Amin. (Ibnu Umar)